Home - Pemerintah Kota Tebing Tinggi

Selamat Datang

di Website Resmi Pemerintah Kota Tebing Tinggi

HARI ANAK NASIONAL 2025: TIGA TANTANGAN, SATU HARAPAN

Setiap tahun, pada tanggal 23 Juli, Indonesia memperingati Hari Anak Nasional (HAN) sebagai wujud kepedulian terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak. Momentum ini seharusnya menjadi pengingat kolektif bahwa anak adalah investasi masa depan bangsa. Negara yang kuat adalah negara yang mampu melindungi generasi mudanya sejak dini — bukan hanya dari kekerasan fisik dan psikologis, tetapi juga dari kemiskinan, kelaparan, keterbelakangan, dan ketidakadilan dalam akses terhadap pendidikan serta kehidupan yang layak.

Namun, realitas yang kita hadapi hari ini menunjukkan bahwa pemenuhan hak anak masih jauh dari kata ideal. Indonesia, dengan populasi anak-anak mencapai lebih dari sepertiga jumlah penduduk, masih bergelut dengan berbagai tantangan serius, seperti gizi buruk dan stunting, pernikahan usia anak, serta ketimpangan akses pendidikan. Ketiga isu ini menjadi penghambat utama dalam mewujudkan anak-anak Indonesia yang sehat, cerdas, dan sejahtera.


Gizi Buruk dan Stunting: Ancaman Tak Kasat Mata Bagi Generasi Penerus

Masalah gizi buruk, khususnya stunting (gagal tumbuh), masih menjadi momok menakutkan di banyak wilayah di Indonesia. Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, prevalensi stunting nasional masih berada di angka 21,6%, meskipun menunjukkan penurunan dari tahun-tahun sebelumnya. Angka ini berarti bahwa satu dari lima anak Indonesia mengalami gangguan pertumbuhan kronis akibat kurangnya asupan gizi dalam jangka panjang.

Stunting bukan hanya sekadar masalah tinggi badan yang tidak sesuai usia. Lebih dari itu, stunting berdampak jangka panjang terhadap daya pikir, kesehatan mental, kemampuan belajar, produktivitas, hingga risiko penyakit degeneratif ketika dewasa. Sayangnya, kondisi ini seringkali tidak terlihat secara langsung hingga anak memasuki usia sekolah. Banyak orang tua yang belum memahami pentingnya 1.000 hari pertama kehidupan (HPK), yaitu sejak masa kehamilan hingga usia dua tahun sebagai masa kritis perkembangan otak dan fisik anak.

Upaya untuk menurunkan stunting harus dilakukan secara menyeluruh, mulai dari edukasi gizi kepada calon ibu, pemberian makanan tambahan bergizi, pemantauan pertumbuhan balita, sanitasi lingkungan, hingga peningkatan pelayanan posyandu. Pemerintah perlu memperkuat sinergi dengan masyarakat, lembaga keagamaan, dan sektor swasta dalam memastikan bahwa setiap anak Indonesia mendapat asupan gizi yang layak.


Pernikahan Dini: Merampas Masa Depan Anak

Isu lain yang tak kalah memprihatinkan adalah tingginya angka pernikahan usia anak di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan bahwa sekitar 8,06% perempuan usia 20–24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun. Angka ini meskipun menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya, tetap menunjukkan adanya persoalan struktural dalam pemenuhan hak anak, terutama hak atas pendidikan, kesehatan, dan perlindungan dari eksploitasi.

Pernikahan dini umumnya terjadi karena beberapa faktor, di antaranya adalah kemiskinan, tekanan sosial budaya, rendahnya pendidikan orang tua, hingga norma agama yang disalahartikan. Banyak keluarga yang menganggap menikahkan anak perempuan adalah solusi cepat untuk mengurangi beban ekonomi, atau karena takut anaknya melakukan pergaulan bebas.

Padahal, pernikahan dini membawa konsekuensi serius. Anak perempuan yang menikah di usia belia rentan mengalami komplikasi kehamilan dan persalinan, kekerasan dalam rumah tangga, hingga kematian ibu dan bayi. Mereka juga cenderung putus sekolah dan mengalami ketergantungan ekonomi pada pasangan. Anak laki-laki pun dipaksa memikul beban sebagai kepala keluarga sebelum cukup matang secara psikologis dan ekonomi. Semua itu berujung pada siklus kemiskinan yang terus berulang.

Dalam konteks perlindungan anak, praktik pernikahan dini sejatinya merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Pemerintah perlu memperkuat regulasi, memperketat syarat dispensasi nikah, serta memperluas edukasi mengenai dampak pernikahan usia dini melalui kurikulum sekolah, media massa, dan tokoh masyarakat.


Ketimpangan Akses Pendidikan: Hak Dasar yang Masih Belum Tuntas

Pendidikan adalah hak dasar setiap anak yang dijamin oleh Undang-Undang. Namun, di berbagai daerah, anak-anak masih menghadapi kendala besar untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas. Permasalahan umum yang terjadi antara lain adalah jarak sekolah yang jauh, biaya transportasi yang tinggi, minimnya guru di daerah terpencil, serta fasilitas belajar yang tidak memadai.

Lebih jauh, anak-anak dari keluarga miskin sering kali harus memilih antara melanjutkan sekolah atau membantu orang tua bekerja demi bertahan hidup. Hal ini mengakibatkan angka partisipasi sekolah, terutama di jenjang SMP dan SMA, masih belum merata di seluruh wilayah Indonesia.

Pemerintah memang telah menjalankan berbagai program afirmatif seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), Program Indonesia Pintar (PIP), dan BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Namun pelaksanaannya masih menghadapi kendala administratif dan belum seluruhnya tepat sasaran. Belum lagi tantangan digitalisasi pendidikan yang memperlebar kesenjangan antara anak-anak di kota besar dan anak-anak di pelosok yang tidak memiliki akses internet dan perangkat belajar daring.

Investasi terhadap pendidikan anak tidak bisa ditunda. Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama memastikan bahwa setiap anak, tanpa memandang latar belakang sosial dan geografis, mendapatkan kesempatan yang setara untuk belajar dan berkembang.


Kesimpulan: Komitmen Bersama untuk Masa Depan Anak Indonesia

Hari Anak Nasional bukan sekadar momen perayaan, melainkan momentum evaluasi dan refleksi bersama: sudah sejauh mana kita sebagai bangsa memenuhi hak-hak anak? Apakah anak-anak kita sudah terbebas dari kelaparan? Apakah mereka sudah memperoleh pendidikan berkualitas? Apakah mereka sudah cukup aman untuk tumbuh dan berkembang sesuai potensi terbaiknya?

Mengatasi masalah gizi buruk, pernikahan dini, dan ketimpangan pendidikan bukanlah tugas satu lembaga atau institusi semata. Butuh kerja sama lintas sektor: pemerintah, dunia pendidikan, organisasi masyarakat sipil, dunia usaha, media, hingga keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat. Semua pihak harus ikut terlibat aktif dalam menciptakan lingkungan yang ramah anak, inklusif, sehat, dan edukatif.

Karena masa depan Indonesia ditentukan oleh kualitas anak-anak hari ini. Mereka adalah pemimpin, inovator, dan penjaga nilai-nilai bangsa di masa depan. Maka sudah menjadi kewajiban kita semua untuk memastikan setiap anak Indonesia hidup dalam lindungan, terpenuhi haknya, dan mendapat kesempatan yang setara untuk bermimpi dan menggapainya.

 

Penulis : Henni Agustina

Komentar
  • TERBARU
  • TERPOPULER
  • ACAK